Tentang "Tanpa Ayah"





Hari ini, Selasa 5 Agustus 2014 aku baru saja terbangun, seseorang seolah membangunkanku untuk kembali pada kenyataan. Inilah kenyataan yang harus aku hadapi. Melihat ke luar jendela, membawa ku pada aku yang dulu. Haruskah aku kembali ?

Tau kenapa aku berfikir demikian? Karena secara satu persatu mereka yang baru saja datang kemaren, sekarang perlahan berangsur pergi. Ntah lah aku tak tau kemana. Cahaya sore yang masuk lewat fentilasi seperti mengingatkanku pada aku yang sebenarnya.

Aku yang berjalan sendiri tanpa ada yang menunjukkan apa ini benar atau salah. Aku yang belum cukup dewasa untuk sebuah pergolankan jiwa antara harapan dan kenyataan yang menghempaskan

Itu cukup sakit. Menerima luka dalam disaat aku belum cukup dewasa dalam memahaminya. Lalu haruskah terus berjalan meski tak tentu arah tujuan. Haruskan terus tumbuh dengan pergolakkan dalam usia yang belum seharusnya.

Menangis, aku kerap kali menangis untuk hal yang tak pernah aku mengerti. Kadang aku merasa terlalu cengeng untuk hal sekecil apapun. Tapi di lain sisi aku merasa hal sekecil itupun aku tak sanggup menggenggamnya. Lalu, aku ini apa? Harus bagaimana dengan setuasi dimana aku belum cukup dewasa dengan sebuah kenyataan yang menunggu. Hingga selalu berfikir bahwa kenyataan itu terlalu menyakitkan bagiku yang tak mengerti arti kedewasaan tanpa pegangan yang hilang sebelum waktunya.

AYAH...
Sepenggal cerita diatas menggambarkan aku yang sesungguhnya, kau harus tau bahwa aku belum cukup dewasa tanpa ada pegangan hidup.

Bukittinggi, 25 April 2015

 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar