AKU BELAJAR DARI AYAH
Padang, 14 Agustus 2015
Hari aku belajar banyak dari apa yang aku alami bahkan dari apa yang aku lihat dalam 1 minggu terakhir. Kita hidup memang untuk memprioritaskan diri apa yang menurut kita benar sesuai dengan tujuan yang ingin kita capai. Bahkan terkadang sesekali keinginan untuk mencapainya mampu menghalalkan segala cara demi tujuan yang satu.
Banyak orang yang aku temui ntah itu muda, dewasa bahkan tua sekalipun. Tujuan kita sama, tapi bisa atau tidaknya kita mewujudkannya itu tergantung dari bagaimana cara kita untuk mendapatkannya. Sikap yang kita miliki menjadi tolak ukur penentu atas tindakan yang kita lakukan.
Setiap orang memiliki sikap dan attitude yang berbeda yang tak bisa aku jabarkan satu persatu. Tapi dari sekian banyak, ada beberapa yang nampak jelas dan melekat di ingatan penilaianku. Berawal dari seseorang yang terlalu ambisius untuk menjadi yang pertama namun sayang, keegoisannya menjadikannya seperti seorang pecundang saat ia tau ada orang yang lebih dari apa yang ia miliki. Kemudian aku terus berjalan hingga aku bertemu dengan seseorang yang memiliki ketangkasan, dan kepintaran dalam mencerna informasi tapi ia berbeda, ia tak sungkan untuk berbagi kepada orang lain terhadap informasi yang ia peroleh. Orang ketiga yang aku temui adalah dia yang mau menolong orang lain dalam menyelesaikan sesuatu buka hanya untuk dirinya tapi juga orang lain. Suatu hari orang ini pergi ke suatu tempat untuk menyelesaikan sebuah urusan namun itu demi kepentingan teman-temannya dan dirinya sendiri. Kalau saja dia enggan untuk pergi mungkin urusan kami tidak akan selesai tepat waktu lalu nasib berkata lain justru karena itu urusan dan keperluannya menjadi tertunda sedangkan urusan kami terselesaikan kecuali dia. Tapi dari situ aku belajar satu hal dia tidak pernah menyesali hal itu, dia berlapang dada menerima keterlambatannya diatas keperluan orang lain. Mottonya hanya satu "Hidup santai masa depan cerah" terlalu klasik memang namun itu tergambar dari prinsip dan omongannya.
Aku terus berjalan, kali ini aku tidak hanya bertemu satu tapi dua. Mereka yang terlihat lembut tapi jangan terlalu gampang percaya dengan kelembutan kata-kata dan attitudenya. Justru dengan apa yang ia punya, ia hanya memanfaatkan kelebihan orang lain demi menyelesaikan tugas dan tujuannya. Well, baiklah kita anggap saja ia tidak paham atas apa yang harus ia lakukan hingga wajahnya seolah mengisyaratkan dia butuh bantuan. Jadi tidak ada salahnya untuk menolong namun sayang pertolongan yang ia terima tak pernah berbalas terima kasih terhadap orang lain bukan hanya sekali dua kali tapi seringkali ia bersikap demikian hingga wajah lembut dan memelasnya terlalu basi untuk ditolong.
Kakiku yang bertungkai panjang tak henti-hentinya untuk berjalan di tengah koridor aku menyaksikan kerumunan orang-orang yang sibuk dengan urusan masing. Mereka mempunyai masalah yang berbeda dari yang muda bahkan yang tua juga kutemui disana. Di sudut koridor kutemui seorang lelaki paruh baya yang usianya sepantaran dengan ayahku. Raut wajahnya mengisyaratkan semburat kebingungan, ia sibuk membuka lembar demi lembar yang terdapat di dalam map hijau dipangkuannya seolah mencari ada yang hilang. Tapi apa? hati kecilku seolah ingin menjawab kebingungannya tapi tak ada yang bisa kulakukan selain mematut wajah lesunya dari jauh. Hingga aku berfikir "jika ayahku yang berada diposisi itu" apa yang bisa kulakukan. Mungkin ini terlalu basi untuk dikatakan tapi jujur saja hatiku terenyuh melihatnya bagaimana tidak aku yang masih muda saja hampir menangis karena sulit untuk menyelesaikan semua ini lalu bagaimana dengan dia yang sudah untuk menyelesaikan semua itu sendiri dengan keterbatasan informasi dan teknologi yang ia miliki.
Waktu terus berjalan hingga esok harinya aku kembali bertemu dengan sikap yang berbeda. Dilantai dua gedung itu aku melihat seorang wanita yang tergolong muda namun terlihat 3 tahun lebih tua dariku. Dari raut wajahnya ia terlihat memiliki kepongahan dan keegoisan yang kadarnya melebihi dari yang aku miliki. Disaat yang bersamaan aku kembali melihat lelaki paruh baya kemaren lalu ia bertanya pada wanita yang baru aku temui. Namun sayang pertanyaan yang ia lontarkan tak digubris sama sekali. Aku ingin menjawab pertanyaan tapi aku sama sekali tak tahu apa yang dia pertanyakan. Jujur saja aku geram dengan sikap pongah wanita itu tapi tak terbayangkan olehku bagaimana jika ayahku yang diperlakukan demikian hingga kali bulir bening dari kedua mataku benar-benar menetes. "Ayah, terima kasih untuk pelajaran kesabaran yang engkau berikan, terima kasih untuk pelajaran ketabahan yang engkau ajarkan hingga aku tau betapa besar arti hadirmu disini." Hingga kau mampu mengantarkanku pada titik pencapaian yang setinggi ini dengan jutaan pelajaran yang aku peroleh hingga saat ini. Namun ini belum titik kulminasi untuk perjalananku sebab titik kulminasi dalam hidupku adalah saat aku mampu mewujudkan impian dan harapanmu pada sebuah kenyataan.
Jadi, berbagai hal yang baru saja aku temui pernah aku dengar dalam dongeng yang pernah ayah ceritakan.